Mengenal Stalagmit Sebagai Indikator Perubahan Iklim
Perubahan iklim merupakan terjadinya perubahan kondisi atmosfer, menyerupai suhu dan cuaca yang menyebabkan suatu kondisi yang tidak menentu. Suatu kawasan mungkin akan mengalami pemanasan, tetapi kawasan lain akan mengalami pendinginan yang tidak wajar. Dampak perubahan iklim ini sanggup terlihat dari semakin banyaknya musibah yang terjadi, mulai dari banjir, puting beliung, semburan gas, hingga curah hujan yang tidak menentu dari tahun ke tahun.
Untuk mempelajari perubahan dan variasi iklim, perlu adanya kajian wacana iklim di masa lampau biar sanggup diramalkan iklim di masa yang akan datang. Namun pada kebanyakan kasus, kondisi masa kemudian tidak terekam pada data instrumen akan tetapi terekam dengan baik pada bentuk-bentuk rekaman lain yang disebut sebagai proxy indicator. Proxy ini bisa merekam sinyal-sinyal yang berafiliasi dengan paleoclimate, sebagai pola diantaranya yaitu variasi pertumbuhan endapan gua berupa stalagmit, variasi bulat pohon (tree-ring), coral, gambut dan lain-lain. Untuk kesempatan kali ini, Geologinesia akan membahas bagaimana stalagmit sanggup berkhasiat sebagai data indikator perubahan iklim masa lampau.
Baca juga: Jenis-jenis Iklim di Indonesia
Endapan gua atau Speleothems merupakan endapan yang terbentuk dari tetesan atau rembesan air tanah dari batuan induk atau host-rock, dimana air tersebut masuk ke dalam gua melalui atap atau dinding gua. Bentuk utama endapan gua terdiri dari tiga macam (Latham et al,1986) yaitu:
- Stalaktit, endapan yang tumbuh dari atap gua ke bawah berbentuk kerucut,
- Stalagmit, endapan yang tumbuh dari lantai gua atau batuan dasar ke atas berbentuk kerucut,
- Flowstone, endapan yang tumbuh lantaran pemikiran halus air atau rembesan air pada dinding gua maupun pada lantai gua.
Proses transportasi mineral magnetik dalam gua juga dimungkinkan terjadi pada ketika banjir, dimana mineral magnetik pada dasar gua terbawa oleh air yang meluap sehingga mineral magnetik melekat atau terperangkap pada pecahan luar stalagmit (Latham et al., 2004). Disisi lain, terjadinya banjir juga sanggup memungkinkan merusak pengendapan mineral magnetik sebelumnya pada lapisan luar yang gres mengendap.
Kenampakan stalagmit sebagai salah satu endapan gua. |
Dalam penelitian Fadhilah (1999) terhadap stalagmit, mengatakan bahwa mineral utama pembentuk stalagmit yaitu kalsit (CaCo3). Kalsit tersebut terlarut dalam air tetesan maupun air rembesan. Disamping kalsit, endapan gua juga terbentu oleh mineral lain maupun zat organik yang seringkali memberi perbedaan warna pada lapisan-lapisan endapan gua (Moore and Sullivan, 1997).
Dalam Kajian yang berafiliasi dengan iklim lampau atau paleoklimat, sampel speleothems mempunyai kekhususan dalam hal rentang waktu dan ketersediaan data. Hal ini berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Yunginger (2006) yang memakai proxy data bulat tahun pohon (tree ring) yang mempunyai resolusi tahunan, tetapi data yang dihasilkan hanya mencapai ratusan tahun. Sebaliknya speleothems mempunyai keberagaman umur hingga rentang waktu yang cukup panjang dalam ratusan, ribuan bahkan puluhan ribu tahun (Morinaga et al., 1985; Ellwood et al., 1998). Ketersediaan data yang cukup panjang dan kemungkinan adanya banyak sekali proxy data yang sanggup diambil dari speleothems khususnya stalagmit tersebut akan berkhasiat untuk kepentingan prediksi perubahan iklim mendatang.
Menurut Gently dan Quinif (1996), ketebalan lapisan stalagmit berkorelasi dengan besarnya curah hujan. Sedangkan berdasarkan Latham et al. (1989), perubahan warna speleothems disebabkan oleh banjir pembawa detritus mineral magnetik dan kotoran lain. Hal ini mengatakan bahwa mineral magnetik meningkat sehingga sanggup diasumsikan bahwa warna yang lebih gelap pada lapisan stalagmit terendapkan pada kondisi iklim lebih berair dan sebaliknya warna jelas terendapkan dalam kondisi iklim yang lebih kering.
Pertumbuhan stalagmit sangat bervariasi bergantung pada banyak faktor, salah satunya pemikiran (tetesan air), sehingga stalagmit mempunyai alur-alur berwarna menyerupai halnya bulat tahunan pada pohon. Pertumbuhan stalagmit sanggup diamati pada alur-alur tersebut, sedangkan perbedaan warna juga mengatakan adanya perubahan kandungan tanah yang terbawa pada aliran.
Pertumbuhan stalagmit untuk mencapai tinggi tertentu berlangsung dalam waktu yang sangat usang mencapai ratusan hingga ribuan tahun, dan di dalamnya terkandung banyak gosip yang berkhasiat untuk kajian paleoklimat dan paleomagnetik. Pertumbuhan stalagmit tergantung dari banyaknya tetesan dan kandungan kalsit yan larut, sehingga mempunyai alur-alur menyerupai bulat tahunan pohon.
Dengan pertunbuhan yang terus menerus menyebabkan stalagmit mencapai suatu ketinggian tertentu, hal ini berlangsung dalam ratusan hingga ribuan tahun, (Sari Yulia, 2001 : 15). Pertumbuhan stalagmit secara bergairah sanggup diukur dengan menghitung laju pengendapannya, yaitu hasil bagi antara tinggi stalagmit dengan umur stalagmit tersebut, Kemudian dari laju pengendapan tersebut sanggup diprediksikan pertumbuhan stalagmit, (Sari Yulia, 2001 : 6). Dengan demikian kajian paleoklimat yang memakai proxy data stalagmit sanggup memudahkan kompilasi data yang nantinya donasi data tesebut akan berkhasiat untuk kepentingan prediksi perubahan iklim mendatang atau modeling iklim masa depan.
Posting Komentar untuk "Mengenal Stalagmit Sebagai Indikator Perubahan Iklim"