Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Deskripsi Dan Penamaan Batuan Gunungapi

Secara umum, untuk mendeskripsi dan memperlihatkan nama batuan geologist sudah membekali diri dengan ilmu yang mempelajari batuan, yakni Petrologi dan Petrografi yang didukung antara lain oleh Mineralogi dan Geokimia. Sedangkan untuk mendeskripsi dan menamakan batuan gunungapi penguasaan ilmu pengetahuan itu perlu ditambah dengan dasar-dasar ilmu gunungapi atau Volkanologi. Dalam tahapan pembelajaran selama ini, Petrologi lebih diartikan sebagai ilmu yang mempelajari batuan secara mata telanjang (megaskopik) dan hanya dibantu dengan peralatan sederhana mirip beling pembesar (loupe), pisau lipat, palu geologi dan cairan HCl 0,1 N. Sedangkan Petrografi lebih ditekankan pada pembelajaran batuan di bawah mikroskop (secara mikroskopik). Namun dalam arti luas Petrologi ialah ilmu yang mempelajari batuan, dimulai dari pengamatan secara mata telanjang, investigasi di bawah mikroskop, analisis geokimia dan bahkan hingga dengan radioisotop.

Penggunaan kata ‘batuan’ diartikan secara luas, yaitu materi bentukan alam (gunungapi), mulai dari materi lepas (loose material) hingga dengan yang sudah membatu (lithified material). Kaprikornus dalam hal ini tidak dipersoalkan perbedaan antara materi berupa endapan dan yang sudah menjadi batuan. Lebih lanjut batuan gunungapi yang dibahas juga terbatas yang segar, dalam arti tidak dalam keadaan sudah lapuk, teroksidasi lanjut, termalihkan (termetamorfose) ataupun terubah (teralterasi) secara hidrotermal. Untuk batuan gunungapi yang terubah secara hidrotermal akan saya bahas kesempatan yang lain.

Dasar-dasar Penamaan Batuan Gunungapi

Sebelum memberi nama terhadap suatu batuan maka pada tahap pertama dan utama harus dilakukan deskripsi atau pemerian. Nama batuan yang hanya didasarkan pada deskripsi terhadap batuan/obyek sebagaimana adanya (objective descriptions) disebut penamaan secara deskripsi (descriptive names). Jika data deskripsi tersebut digunakan untuk menganalisis asal-usul bencana batuan (genesa) dan hasil analisis itu digunakan sebagai dasar untuk memperlihatkan nama batuan maka hal ini disebut penamaan secara genesa (genetic names). Apabila penamaan secara deskripsi disatukan dengan penamaan secara genesa maka hal itu disebut penamaan secara kombinasi deskripsi dan genesa.

Dalam melaksanakan deskripsi dan penamaan batuan juga memperhatikan metoda pendekatan yang secara garis besar dibagi menjadi tiga, yaitu pendekatan secara mata telanjang (megaskopik), pendekatan secara mikroskopik dan pendekatan secara kimia. Pendekatan secara mata telanjang dilakukan di lapangan atau terhadap referensi setangan (hand specimen). Baik deskripsi maupun penamaan secara megaskopik masih bersifat pendahuluan yang ini perlu dimantapkan dengan pengamatan secara mikroskopik dan atau analisis kimia. Pada umumnya, deskripsi referensi setangan hanya bisa memberi nama secara deskripsi, tetapi deskripsi berdasar kenampakan lapangan sangat mendukung untuk memperlihatkan nama secara genesa. Selain warna dan komposisi mineralogi, deskripsi di bawah mikroskop juga memperhatikan kenampakan tekstur dan struktur yang ada. Pendekatan ini mempunyai kelemahan bila mineral pembentuknya tidak berupa kristal, tetapi sebagian besar tersusun oleh gelas gunungapi, sehingga penamaan berdasar komposisi mineralogi kristal tidak cukup mewakili untuk seluruh batuan yang dideskripsi. Guna mengantisipasi kelemahan pada penamaan secara mikroskopik tersebut diharapkan pendekatan ketiga, yaitu berdasar analisis kimia. Dalam hal ini tekanannya pada komposisi kimia yang bersifat lebih kuantitatif dibanding metoda pendekatan pertama dan kedua. Untuk kelengkapan penelitian geologi pada umumnya dan deskripsi serta penamaan batuan gunungapi secara khusus ketiga pendekatan tersebut sebaiknya dilakukan secara bersama-sama.

Dalam penamaan batuan secara deskripsi, sebagai parameter umum deskripsi ialah warna, tekstur, struktur dan komposisi. Tekstur meliputi antara lain bentuk dan ukuran butir/kristal, hubungan antar butir/kristal, pemilahan dll. Dalam kaitannya dengan batuan gunungapi, struktur yang terbentuk lebih mencerminkan proses pendinginan secara cepat dari magma menjadi batuan beku dan proses pengendapan. Komposisi sanggup secara mineralogi atau kimia. Secara mineralogi, komposisi batuan sanggup tersusun oleh mineral/kristal, fosil, fragmen batuan dan matriks atau masa dasar. Untuk memperlihatkan nama batuan secara deskripsi sanggup hanya memakai salah satu parameter deskripsi atau kombinasi di antara beberapa parameter. Biasanya, hal ini dipilih yang paling gampang dikenali. Penamaan batuan hanya berdasar satu parameter (komposisi) misalnya, batuan yang secara mineralogi hanya tersusun oleh kalsit, atau secara kimia hanya berkomposisi kalsium karbonat (CaCO3) dinamakan batugamping. Penamaan batuan berdasar beberapa parameter contohnya, batuan gunungapi berwarna abu-abu, bertekstur hipokristalin porfiri, berstruktur berlubang, serta berkomposisi fenokris felspar-plagioklas, piroksen dan masadasar gelas gunungapi dinamakan andesit. Nama tambahan sanggup disebutkan bila ada parameter yang paling menonjol, contohnya yang menonjol fenokris piroksen, sebarannya merata dan kelimpahannya mencapai lebih dari 10 % maka batuan tersebut sanggup dinamakan andesit piroksen. Apabila yang menonjol ialah kenampakan tekstur porfiri sanggup dinamakan andesit porfiri. Jika yang menonjol kenampakan struktur, contohnya struktur masif, maka dinamakan andesit masif.

Dalam kaitannya dengan batuan teralterasi, McPhie dkk (1993) memperlihatkan nama batuan menurut grain size, components, lithofacies term & alteration. Grain size atau ukuran butir merupakan penggalan dari tekstur, components sepadan dengan komposisi, lithofacies term digunakan untuk struktur dan alteration ialah kenampakan ubahan yang terjadi di dalam batuan itu. Sebagai referensi crystal-rich chloritic bedded sandstone.

Penamaan batuan secara genesa mempunyai parameter analisis terhadap sumber/ asal batuan, proses pembentukan batuan, umur batuan dan lingkungan pengendapan batuan. Untuk batuan gunungapi masa sekarang atau setidak-tidaknya berumur Kuarter, duduk kasus sumber sudah sangat terperinci sehingga biasanya tidak dipersoalkan lagi, contohnya batuan gunungapi di daerah Kaliurang dan Pakem, Kabupaten Sleman bersumber dari kawah G. Merapi di sebelah utaranya. Namun untuk batuan gunungapi yang lebih tua, contohnya berumur Tersier di Pegunungan Selatan, Kabupaten Gunungkidul, duduk kasus sumber masih memerlukan penelitian secara cermat. Proses pembentukan batuan gunungapi, atau secara umum proses volkanisme, sanggup diamati pada gunungapi aktif masa sekarang atau yang pernah meletus dalam sejarah. Berdasar data geofisika dan geokimia kita sanggup mengamati pergerakan magma dari dalam bumi ke permukaan secara real time. Secara mata kepala sendiri (visual observation) kita sanggup melihat bentuk dan kegiatan magma pada dikala keluar ke permukaan bumi yang dikenal sebagai erupsi gunungapi. Demikian pula sesudah materi padat hasil erupsi gunungapi tersebut membeku atau mengendap, kita sanggup mendekati dan mendeskripsi secara rinci.

Dengan demikian dari kegiatan gunungapi aktif masa sekarang pertama-tama kita sanggup mengetahui genesanya yang meliputi sumber, proses, waktu kejadian, lingkungan asal dan lingkungan pengendapan, kemudian melaksanakan deskripsi terhadap batuan yang terbentuk secara rinci. Data deskripsi secara rinci itulah yang digunakan sebagai dasar untuk menganalisis batuan gunungapi yang lebih renta dalam rangka memberi nama batuan secara genesa. Metoda ini bersama-sama merupakan penerapan salah satu prinsip geologi, yakni the present is the key to the past. Berhubung hampir selalu sanggup mengamati proses erupsi gunungapi, proses pembekuan dan proses pengendapan materi erupsi, serta pengetahuan itu sangat bermanfaat bagi kepentingan sosial masyarakat maka dalam menamakan endapan/ batuan gunungapi para jago gunungapi lebih menitik-beratkan pada penamaan secara genesa daripada penamaan secara deskripsi. Sebagai referensi nama-nama aliran lava, awan panas dan lahar.

Penentuan umur batuan sanggup didasarkan pada pendekatan secara stratigrafi, paleontologi (bila mengandung fosil), dan atau metoda radiometri. Pendekatan secara stratigrafi di lapangan bersifat relatif, contohnya lebih muda dari batuan yang di bawahnya dan lebih renta dari batuan yang di atasnya. Pendekatan paleontologi selain bersifat relatif juga mempunyai kisaran waktu yang panjang untuk ukuran kegiatan volkanisme. Penentuan umur secara radiometri bisa mendapat nilai umur dalam bentuk angka sekalipun ketepatannya masih memerlukan improvisasi secara berkelanjutan. Analisis umur dengan pendekatan radiometri antara lain dengan metoda Kalium-Argon (40K–40Ar), Argon-Argon (40Ar/39Ar), Jejak Belah, Carbon-14, Uranium-Thorium (U-Th) dan Uranium-Lead (U-Pb). Sejauh ini penamaan batuan gunungapi berdasar umur dan lingkungan pengendapan masih bersifat umum, contohnya batuan gunungapi Paleogen dan batuan gunungapi darat, sehingga analisis genesa lebih dititik-beratkan pada proses dan kemudian sumber. Dalam penamaan batuan gunungapi secara genesa dimana kejadiannya tidak tercatat dalam sejarah atau yang berumur lebih renta maka analisis proses dan sumber merupakan hal yang paling tidak mudah.

Penamaan batuan gunungapi secara kombinasi deskripsi dan genesa bukan duduk kasus yang berarti bila sudah diketahui nama secara deskripsi dan genesa. Sebagai contoh, bila secara deskripsi berjulukan andesit, secara genesa bersumber dari Gunungapi Merapi, proses dan bentuk erupsinya berupa kubah lava, maka nama kombinasinya sanggup disebut Kubah lava andesit G. Merapi. Secara geologi dan pada batuan gunungapi tua, lantaran sumbernya belum diketahui secara niscaya maka penamaannya sanggup memakai nama geografi atau tempat dimana batuan itu tersingkap sangat baik, contohnya aliran lava bantal basal piroksen Watuadeg. Ini mengandung arti proses erupsinya secara mengalir (berupa aliran lava), berbentuk bantal (sekaligus mencerminkan kejadiannya di dalam air), berkomposisi basal piroksen dan tersingkap sangat baik di dusun Watuadeg.

Pengertian Gunungapi dan Batuan Gunungapi

Gunungapi (volcano, vulkano, vulkaan) ialah tempat atau lubang dimana batuan pijar dan atau gas, biasanya kedua-duanya, keluar ke permukaan bumi, dan materi padat yang terakumulasi di sekeliling lubang membentuk bukit atau gunung (volcano is both the place or opening from which molten rock or gas, and generally both, issues from the earth’s interior onto the surface, and the hill or mountain built up around the opening by accumulation of the rock material, Macdonald, 1972). Batuan pijar (dan gas) disini ialah magma, sedangkan lubang keluarnya magma itu disebut kawah (?? 2 km) atau kaldera gunungapi (? > 2 km). Dengan demikian titik berat pengertian gunungapi ialah pada adanya lubang dan keluarnya magma, sedangkan bentuk bentang alam berupa bukit atau gunung bukan merupakan keharusan, lantaran banyak vulkaan yang tidak membentuk gunung. Namun lantaran di Indonesia hampir seluruh vulkaan berbentuk gunung maka (secara salah kaprah) orang menyebutnya sebagai gunungapi (gunung api) atau gunung berapi. Perihal yang sering menjadi perdebatan ialah bila lubang itu hanya mengeluarkan gas, apa juga disebut gunungapi. Berdasarkan definisi tersebut di atas (ada kata ‘atau’ di antara batuan pijar dan gas) maka jawabannya ialah iya, asal gas itu benar-benar berasal dari magma (magmatic gases) di dalam bumi. Untuk mengambarkan bahwa gas itu berasal dari magma atau bukan (non magmatic gases) memerlukan penelitian yang tidak sederhana.

Batuan gunungapi ialah batuan yang terbentuk sebagai hasil dari acara gunungapi, baik pribadi maupun tidak langsung. Aktivitas gunungapi diartikan sebagai proses erupsi atau keluarnya magma dari dalam bumi ke permukaan, melalui lubang kawah atau kaldera dalam banyak sekali bentuk dan kegiatannya. Pengertian pribadi disini dimaksudkan bahwa materi erupsi gunungapi itu sesudah mendingin/ mengendap kemudian membatu di tempat itu juga (in situ). Sedangkan pengertian tidak pribadi memperlihatkan bahwa endapan/batuan gunungapi tersebut sudah mengalami perombakan atau deformasi, baik oleh acara volkanisme yang lebih baru, proses-proses sedimentasi kembali, maupun acara tektonika.

Berdasarkan acara gunungapi itu sanggup difahami bahwa:
  1. Pada perjalanannya ke permukaan bumi magma sanggup benar-benar keluar, atau sebagian keluar dan sebagian membeku di akrab permukaan atau seluruhnya membeku di akrab permukaan. 
  2. Pada perjalanannya ke permukaan, magma membeku sangat cepat sehingga sebagian atau bahkan seluruhnya membentuk gelas gunungapi (volcanic glass). Pembekuan sangat cepat itu terjadi lantaran magma yang bertemperatur antara 900 – 1200oC secara cepat keluar ke permukaan bumi yang mempunyai temperatur di bawah 30oC. Bahkan di dasar maritim dalam atau daerah tertutup es temperatur bisa di bawah 0oC. Gelas gunungapi ini bersama-sama ialah mineral yang tidak berbentuk kristal (amorf), berasal dari magma, dan merupakan materi silikat. Pengertian materi silikat ini ialah mineral yang mengandung unsur Silika atau oksida SiO2. Di dalam materi silikat masih ada unsur atau oksida lain, mirip Aluminium (Al2O3), Magnesium (MgO), besi (FeO dan Fe2O3), Calcium (CaO), Titanium (TiO2), Mangan (MnO), Natrium (Na2O) dan Kalium (K2O). Hal ini agak sedikit berbeda dengan pengertian mineral silika yang hanya tersusun oleh unsur Si atau oksida SiO2. 
  3. Mineral yang mengkristal pada umumnya mempunyai tekstur pendinginan sangat cepat (quenching textures) lantaran pertumbuhannya sangat terganggu oleh proses pendinginan. Hal ini dicirikan antara lain oleh struktur zoning, fibrous structures, skeletal crystals, embayment, corrosion, banded microcystalline, rekahan pada kristal dan di dalamnya mengandung inklusi gelas gunungapi. 
  4. Di penggalan luar badan batuan gunungapi biasanya terdapat lubang bekas keluarnya gas gunungapi (vesicular structures) dan perekahan yang terjadi selama proses pergerakan ke permukaan dan pendinginan sangat cepat (super cooling fractures). 
  5. Magma yang membeku di akrab permukaan (high level intrusives) atau sudah keluar ke permukaan secara meleleh (effusive eruptions) membentuk lava koheren yang pada akhirnya menjadi batuan beku masif. Sedangkan magma yang keluar ke permukaan secara meletus (explosive eruptions) menghasilkan batuan beku terfragmentasi yang disebut pyroclasts, berasal dari kara pyro artinya api dan clast berarti butiran, fragmen atau kepingan. Kaprikornus pyroclast ialah butiran batuan pijar yang dilontarkan keluar (ejected material) dari lubang kawah pada dikala terjadi letusan gunungapi. Pyroclasts atau istilah lain ejecta ini mempunyai banyak sekali ukuran, mulai dari berbutir halus (abu/debu gunungapi, ?? 2 mm), berbutir sedang (lapili, ? : 2 – 64 mm) hingga dengan berbutir berangasan (blok/bom gunungapi, ? > 64 mm). Batuan itu secara khusus disebut batuan piroklastika dan secara umum membentuk batuan gunungapi bertekstur klastika (volcaniclastic rocks). 
Dengan demikian secara deskripsi batuan gunungapi mempunyai ciri-ciri khas di dalam tekstur dan komposisi, sebagai berikut:
  • Tekstur hipokristalin porfir, vitrofir atau gelas, baik di dalam lava koheren maupun sebagai komponen materi klastika, 
  • Komposisi selalu mengandung gelas gunungapi; kristal yang terbentuk pada umumnya memperlihatkan tekstur dan struktur pendinginan magma sangat cepat; komponen fragmen batuan kebanyakan terdiri dari fragmen batuan beku (luar), mirip basal, andesit, dasit atau riolit. Namun demikian tidak menutup kemungkinan terdapat fragmen batuan samping dan batuan dasar yang ikut terlontar keluar sebagai materi komplemen dan accidental material. 
Warna batuan gunungapi sangat bermacam-macam terpengaruh oleh komposisi kimia dan mineral penyusunnya, mulai dari warna gelap umumnya untuk batuan berkomposisi basa, abu-abu untuk batuan berkomposisi menengah dan warna terang untuk batuan berkomposisi asam.

Mengenai struktur batuan gunungapi, untuk lava koheren dan fragmen batuan mengikuti hukum-hukum yang berlaku di dalam batuan beku, mirip halnya struktur masif, berlubang/berongga (vesicles), segregasi, konsentris, aliran dan rekahan radier yang mencerminkan proses pendinginan. Pembentukan struktur di dalam endapan/batuan bertekstur klastika (misalnya piroklastika dan epiklastika) lebih mengikuti aturan batuan sedimen (proses pengendapan), contohnya struktur perlapisan/laminasi, silang-siur, perlapisan pilihan, melensa, membaji, antidunes dan lain-lain. Itulah sebabnya batuan gunungapi sebaiknya tidak dipaksakan untuk masuk jenis batuan beku atau batuan sedimen, tetapi lebih baik dipandang sebagai kelompok tersendiri yang berada di daerah transisi antara kedua jenis batuan utama tersebut.

Penamaan Batuan Gunungapi secara Deskripsi

Telah disinggung di atas bahwa secara proses volkanisme dan sekaligus secara fisik batuan gunungapi dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu lava koheren (coherent lavas) dan batuan klastika gunungapi (volcaniclastic rocks). Lava koheren pada hakekatnya ialah batuan beku (masif), yaitu magma yang membeku di akrab permukaan (batuan beku intrusi dangkal) dan magma yang membeku di permukaan (batuan beku luar). Batuan klastika gunungapi ialah seluruh batuan gunungapi yang mempunyai tekstur klastika atau yang tersusun oleh materi butiran asal kegiatan gunungapi.

Lava Koheren Secara Deskripsi

Dalam melaksanakan deskripsi dan penamaan secara deskripsi terhadap lava koheren kita mengacu pada dasar-dasar petrologi batuan beku (luar) dimana parameter pokok deskripsi ialah warna, tekstur, struktur dan komposisi. Klasifikasi penamaan batuan, baik secara megaskopis maupun secara mikroskopis didasarkan pada penjabaran yang telah dibentuk oleh banyak jago dan dipublikasikan dalam banyak sekali literatur petrologi batuan beku luar (misal Williams dkk., 1953, Streckeisen, 1980). Hanya perlu diingat bahwa dalam lingkup volkanologi, nama batuan gunungapi ini tidak terbatas untuk batuan beku luar saja, tetapi sanggup diterapkan pada batuan beku intrusi dangkal, dan dalam beberapa hal untuk batuan klastika gunungapi. Dengan kata lain sanggup dinyatakan bahwa batuan beku luar ialah merupakan penggalan dari lava koheren batuan gunungapi.

Warna lava koheren sangat terpengaruh oleh komposisi batuan gunungapi itu, sedangkan tekstur dan struktur, mulai dari yang berkomposisi basa hingga dengan yang berkomposisi asam sangat dipengaruhi oleh proses pendinginan dari magma pembentuknya mirip yang telah disampaikan di atas. Sebagaimana halnya warna batuan gunungapi pada umumnya, maka warna lava koheren juga sangat bermacam-macam terpengaruh oleh komposisi kimia dan mineral penyusunnya, mulai dari warna gelap umumnya untuk batuan berkomposisi basa, abu-abu untuk batuan berkomposisi menengah dan warna terang untuk batuan berkomposisi asam. Batuan gunungapi berkomposisi basa tersusun oleh mineral kaya Fe-Mg (olivin dan piroksen) serta plagioklas kaya Ca (bitownit dan anortit). Di dalam batuan gunungapi berkomposisi menengah asosiasi mineral penyusunnya ialah piroksen, amfibol (hornblende), plagioklas menengah (andesin dan labradorit) serta sedikit alkali felspar dan kuarsa. Sedangkan mineral penyusun batuan gunungapi berkomposisi asam ialah hornblende, biotit, muskovit, plagioklas asam (albit dan oligoklas), alkali felspar dan kuarsa. Tabel 1 di bawah ini memperlihatkan deskripsi dan penamaan lava koheren secara megaskopis.

Berdasarkan komposisi kimia, dalam hal ini persentase berat oksida silika (SiO2) lava koheren sanggup diklasifikasikan menjadi basal, andesit basal (basaltic andesite), andesit, dasit dan riolit mirip tersebut pada Tabel 2. Berdasarkan persentase berat SiO2 versus K2O (Peccerillo & Taylor, 1976; Ewart, 1982), batuan tersebut dibagi menjadi batuan toleiit (miskin/rendah kalium), batuan Calc-alkaline (kalium menengah) dan batuan alkalin (alkali tinggi). Untuk gunungapi yang bekerjasama dengan zona penunjaman kerak bumi, batuan toleiit umumnya terdapat di busur magma penggalan depan (dekat dengan zona penunjaman), batuan Calc-alkaline di penggalan tengah dan batuan alkalin di penggalan belakang. Dalam mengklasifikasikan nama batuan berdasar komposisi sebagian jago tidak hanya memakai persentase berat kalium oksida tetapi memakai total persentase berat alkali (Na2O + K2O) versus SiO2 (e.g. Cox dkk., 1978; Le Bas dkk.., 1986). Untuk menamakan batuan berdasar komposisi kimia secara sempurna diharapkan beberapa persyaratan sebelumnya. Pertama batuan yang akan dianalisis secara kimia harus benar-benar segar, dalam arti tidak lapuk, tidak teroksidasi dan tidak teralterasi. Hal itu nantinya terlihat pada sedikit atau banyaknya materi habis dibakar serta materi volatil yang terkandung serta jumlah total persentase. Semakin sedikit persentase materi habis dibakar (loss on ignition) dan materi volatil dengan jumlah total mendekati 100 % (? 1,5 %) serta masing-masing persentase oksida mayor secara geologi sudah masuk akal maka hal itu memperlihatkan referensi batuan cukup segar serta hasilnya sanggup digunakan untuk analisis lebih lanjut (Tabel 3). Hasil analisis kimia tersebut kemudian dinormalisir ke 100 % tanpa mengikut-sertakan materi habis dibakar dan volatil sebelum dimasukkan ke dalam penjabaran (Tabel 4 & 5).

Tabel 1. Klasifikasi nama lava koheren secara deskripsi megaskopis.

Tabel 2. Klasifikasi penamaan batuan koheren lava berdasar persentase berat SiO2.

Tabel 3. Komposisi kimia oksida mayor batuan beku. LOI = loss on ignition (habis dibakar). Fe2O3* = total oksida besi (FeO + Fe2O3).

Tabel 4. Komposisi kimia oksida mayor batuan beku sesudah dinormalisisr 100 % tanpa volatil dan LOI.

Tabel 5. Komposisi kimia oksida mayor obsidian dan pumis (batuapung) sesudah dinormalisir 100 % tanpa volatil dan LOI.

Batuan Klastika Gunungapi Secara Deskripsi

Di bawah ini dicantumkan beberapa definisi dari batuan klastika gunungapi atau volcaniclastic rocks.
  1. The entire spectrum of clastic materials composed in part or entirely of volcanic fragments, formed by any particle-forming mechanism (e.g. pyroclastic, epiclastic, autoclastic), transported by any mechanism, deposited in any physiographic environment or mixed with any non volcanic fragment types in any proportion (Fisher, 1961; Fisher, 1966; Fisher & Smith, 1991). 
  2. All fragmental volcanic rocks that result from any mechanism of fragmentation (Pettijohn, 1975; Walker & James, 1992). 
  3. A clastic rock containing volcanic material in whatever proportion, and without regard to its origin (Mathisen & McPherson, 1991). 
Berdasarkan pendapat para jago tersebut maka sanggup dinyatakan bahwa batuan klastika gunungapi ialah batuan gunungapi yang bertekstur klastika. Secara deskripsi, terutama tekstur (bentuk dan ukuran butir), batuan klastika gunungapi sanggup berupa breksi gunungapi (volcanic breccias). konglomerat gunungapi (volcanic conglomerate), batupasir gunungapi (volcanic sandstones), batulanau gunungapi (volcanic siltstones) dan batulempung gunungapi (volcanic claystones). Perlu ditegaskan di sini bahwa penggunaan kata ‘pasir’, ‘lanau’ dan ‘lempung’ hanyalah memperlihatkan ukuran butir, tidak secara pribadi mencerminkan sebagai batuan sedimen epiklastika. Nama-nama tersebut sanggup ditambah dengan parameter warna, struktur dan atau komposisi tergantung aspek mana yang menonjol dan gampang dikenali. Sebagai contoh, apabila fragmen di dalam breksi gunungapi didominasi oleh andesit dan tidak berstruktur (masif), batuan itu sanggup saja dinamakan breksi andesit masif. Jika di dalam batupasir gunungapi yang sangat menonjol ialah struktur berlapis, batuan itu sanggup dinamakan batupasir gunungapi berlapis (bedded volcanic sandstones).

Penamaan Batuan Gunungapi Secara Genesa

Telah disampaikan di atas bahwa secara proses volkanisme, batuan gunungapi dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu lava koheren dan batuan klastika gunungapi. Berdasarkan pengalaman para jago dalam mengamati pribadi acara gunungapi, maka klarifikasi disini akan dimulai dari proses dan nama kemudian diikuti dengan deskripsi ciri-ciri litologinya. Namun dalam pembelajaran batuan gunungapi renta dimana prosesnya sudah tidak sanggup dilihat langsung, kita hendaknya memulai dengan melaksanakan deskripsi ciri-ciri litologi selengkap-lengkapnya, kemudian menginterpretasikan proses yang terjadi dan terakhir memperlihatkan nama batuan gunungapi secara genesa.

Lava Koheren Secara Genesa

Lava koheren sanggup terbentuk sebagai tanggapan pergerakan magma ke luar ke permukaan bumi. Dalam pergerakan tersebut magma sanggup benar-benar keluar ke permukaan bumi secara meleleh (effusive eruptions), atau membeku di akrab permukaan, atau sebagian membeku di bawah dan sebagian lagi membeku di permukaan bumi. Magma yang membeku di akrab permukaan dikenal sebagai batuan beku intrusi dangkal. Padanan kata batuan beku intrusi dangkal ini banyak sekali, antara lain batuan intrusi sub-gunungapi, batuan semi gunungapi, subvolcanic intrusions, high level intrusives, shallow intrusions, low level intrusions, syn-volcanic intrusions, dll. Mengenai kedangkalan dari pembekuan magma ini belum ada angka kedalaman yang pasti, tetapi diperkirakan tidak lebih dari 10 km di bawah kawah/kaldera gunungapi. Sebagai referensi kedalaman dapur magma dangkal G. Merapi hanya 1 km di bawah puncak sedangkan dapur magma dalam berkisar antara 3 - 4 km di bawah puncak. Siebett (1988) menuturkan bahwa badan intrusi di bawah gunungapi komposit dan berasosiasi dengan lapangan panas bumi mempunyai kedalaman 8 - 9 km. Pembekuan magma di akrab permukaan ini dimungkinkan lantaran pertama, magma sudah membeku terlebih dahulu sebelum pergerakannya mencapai ke permukaan bumi. Kedua, tidak semua magma keluar ke permukaan bumi sewaktu gunungapi bererupsi atau meletus, tetapi juga tidak kembali ke dapurnya jauh di dalam bumi sesudah erupsi gunungapi berhenti. Sebagian magma itu tersisa dan membeku di sepanjang perjalanan dari dapur magma ke permukaan bumi yang dalam hal ini ialah kawah/kaldera gunungapi. Kelompok batuan sub-gunungapi ini antara lain membentuk retas (dikes), sill atau kubah lava bawah permukaan (cryptodomes). Magma yang membeku di pipa kepundan sehingga penggalan atasnya menyembul ke permukaan sedang penggalan bawahnya berada di bawah permukaan disebut leher gunungapi (volcanic necks) atau sumbat lava (lava plugs). Pada literatur usang berbahasa Indonesia retas ini disebut batuan gang dan leher gunungapi disebut batuan korok. Seluruh batuan beku intrusi dangkal disebut sebagai hypabyssal rocks. Batuan terobosan dangkal ini tersingkap di dalam atau pada dinding kawah/kaldera gunungapi atau pada daerah batuan gunungapi yang sudah tererosi cukup lanjut.

Berhubung sebagai batuan beku terobosan (sekalipun dangkal), maka ciri-ciri litologi yang sangat penting ialah bagaimana bentuk geometrinya, bagaimana kenampakan kontaknya dengan batuan samping atau yang diterobos, bagaimana warna, tekstur, struktur dan komposisi, serta ciri-ciri rinci khusus atau penunjang lainnya. Bentuk geometri mungkin sanggup diamati berdasar penginderaan jauh dan peta rupa bumi, tetapi kenampakan kontak dengan batuan samping mutlak harus ditunjukkan berdasar data singkapan pribadi di lapangan yang secara lebih rinci sanggup dibantu dengan analisis secara mikroskopik dan bila perlu secara kimia. Secara deskripsi di bawah ini dijelaskan beberapa bentuk badan intrusi dangkal sebagai penggalan dari lava koheren batuan gunungapi.
Retas dicirikan, antara lain:
  1. Bentuk terobosan berupa bidang memanjang (tabular in shape) serta memotong perlapisan batuan yang diterobosnya. 
  2. Efek kontak di kedua sisi retas terhadap batuan yang diterobos mungkin mengalami imbas bakar, atau penggalan tepi retas yang mengalami oksidasi, keduanya umumnya berwarna merah coklat atau merah bata, sangat tergantung tingginya temperatur magma dikala menerobos, jenis batuan yang diterobos dan oksigen yang dikandungnya. 
  3. Dari penggalan tengah menuju ke tepi retas secara berangsur semakin bertekstur gelas. Hal ini akan semakin aktual pada badan retas yang cukup tebal. Pada kontak sanggup pula terbentuk breksi sebagai tanggapan pendinginan sangat cepat sehingga menyebabkan perekahan yang kemudian terisi oleh cairan magma dari penggalan tengah retas, atau masuknya batuan samping ke dalam cairan magma retas. 
  4. Terdapat struktur paralel secara vertikal di penggalan tepi badan retas sebagai tanggapan segregasi dan tingkat kristalisasi yang berbeda selama pendinginan, di mana penggalan tepi/luar lebih cepat mendingin daripada penggalan dalam. Struktur kekar yang memotong tegak lurus retas biasanya juga sanggup dijumpai. Bila magma mengandung banyak gas, atau menerobos batuan karbonat, mungkin terbentuk struktur lubang berbentuk elip yang memperlihatkan aliran ke atas. Struktur aliran sanggup pula ditunjukkan oleh penjajaran feokris atau bentuk struktur aliran lainnya. 
  5. Komposisi retas penggalan tengah lebih banyak kristal, sedang ke arah tepi semakin banyak gelas gunungapi. Alterasi dan mineralisasi mungkin sanggup terjadi di penggalan tepi dari retas tersebut. 

Sill atau kubah lava bawah permukaan dicirikan antara lain oleh:
  1. Bentuk terobosan pipih atau cembung menyisip secara selaras (concordant) di antara perlapisan batuan. Bentuk itu sangat tergantung kemampuan magma mendesak perlapisan batuan di sekitarnya. Apabila berbentuk cembung menjadikan perlapisan batuan di atasnya terlipat ke atas mirip struktur antiklin. Jika hal ini terjadi sangat akrab dengan permukaan dan di lereng kerucut gunungapi maka penggalan itu akan mengalami penggembungan (bulging). Namun dalam beberapa hal bentuk intrusi dangkal ini bisa saja tidak beraturan. 
  2. Efek kontak mirip mirip yang terjadi pada retas, hanya letaknya ada di bawah atau di atas badan sill. 
  3. Semakin ke penggalan tepi badan sill semakin bertekstur halus atau gelas dan di beberapa penggalan membentuk breksi (autoklastika). 
  4. Struktur segregasi berbentuk konsentris atau kelopak atau struktur kulit bawang. Struktur rekahan mungkin dijumpai di penggalan permukaan dengan pola radier. 
  5. Tingkat kristalinitas semakin tinggi menuju ke penggalan tengah badan sill. Dengan kata lain komposisi gelas semakin banyak menuju ke tepi badan sill. 

Leher gunungapi dan sumbat lava dicirikan antara lain oleh:
  1. Bentuk terobosan mirip pipa, kedudukan memotong (discordant) bidang perlapisan batuan di sekelilingnya. 
  2. Efek kontak terhadap batuan di sekitarnya terjadi di sekeliling badan terobosan. 
  3. Ke arah penggalan tepi badan semakin bertekstur gelas atau membentuk breksi (autoklastika). 
  4. Struktur segregasi berarah paralel vertikal pada pandangan dari samping, tetapi menjadi konsentris pada pandangan dari atas. Struktur lubang dijumpai, terutama di penggalan atas badan intrusi. 
  5. Secara umum, komposisi banyak tersusun oleh gelas lantaran ukurannya yang relatif kecil. 
  6. Berhubung terjadi akrab di bawah atau bahkan di dalam kawah gunungapi, biasanya batuan di sekitarnya sudah mengalami alterasi hidrotermal. 

Bentuk-bentuk lava koheren yang benar-benar keluar ke permukaan bumi sanggup berupa kubah lava (lava domes) atau aliran lava (lava flows). Kubah lava terbentuk bila lava relatif kental sehingga begitu keluar ke permukaan segera membeku dan menumpuk pribadi di atas lubang kepundan membentuk kubah. Kubah lava ini ke bawahnya sanggup bekerjasama dengan leher gunungapi atau retas. Perbedaan antara sumbat lava dengan kubah lava hanya pada bentuk, yang pertama berbentuk sumbat sedang yang kedua berbentuk kubah. Ukuran sumbat selalu lebih kecil dari kubah lava.

Ciri-ciri kubah lava antara lain:
  1. Bentuk ideal mirip kubah (setengah bola membundar ke atas), walaupun kenyataannya sanggup tidak teratur, tetapi yang penting menumpuk di dalam kawah gunungapi. 
  2. Efek kontak hanya terjadi dengan batuan yang ditindih (di bawahnya) yang biasanya sudah teralterasi lantaran berada di dalam kawah/kaldera gunungapi. 
  3. Tekstur batuan semakin kristalin ke penggalan tengah badan kubah. Pada penggalan permukaan, tepi dan dasar kubah sanggup terjadi breksiasi lantaran pendinginan yang sangat cepat (breksi autoklastika). 
  4. Pada penggalan permukaan kubah dijumpai struktur lubang dan rekahan yang berpola radier menjauhi pusat kubah. Pada penggalan tengah kubah terbentuk aliran dan struktur kelopak (kulit bawang). 
  5. Bila belum tererosi, pada permukaan kubah yang terbentuk di dasar maritim (dalam) terbentuk kerak beling (glassy crust) dan atau hyaloclastite. 

Hyaloclastite berasal dari kata ‘hyaline’ (gelas) dan ‘clast’ (butiran/fragmen). Mengacu pendapat McPhie dkk. (1993), hyaloclastite (hialoklastit ?) berarti mempunyai pengertian: Clastic aggregates formed by non-explosive fracturing and disintegration of quenched lavas and intrusions that are extruded under (sea) water (bahan klastika yang terbentuk oleh disintegrasi dan perekahan non letusan lantaran pendinginan yang sangat cepat pada lava dan intrusi di dasar air (laut). Istilah ini digunakan baik untuk materi yang masih lepas-lepas maupun sudah membatu. Dengan demikian hyaloclastite ialah batuan klastika gunungapi yang seluruh komponen penyusunnya terdiri dari butiran gelas. Secara genesa hyaloclastite terbentuk sebagai hasil erupsi gunungapi lelehan (non eksplosif) di dalam air (laut dalam), balasannya terjadi pendinginan yang sangat cepat dan fragmentasi sehingga mineral tidak sempat mengkristal. Secara tekstur hyaloclastites sanggup berupa breksi gunungapi atau batupasir gunungapi berkomposisi gelas.

Aliran lava mempunyai tipe beragam, yakni aliran lava bongkah (blocky lava flows), aliran lava aa’, aliran lava pahoe-hoe dan aliran lava bantal. Aliran lava bongkah ialah yang paling umum di Indonesia dimana lavanya relatif kental berkomposisi basa, menengah hingga asam. Aliran lava aa’ dan pahoe-hoe khas terdapat di Hawaii dimana selalu berkomposisi basal dan encer. Aliran lava bantal mencirikan aliran lava yang terbentuk di lingkungan air (laut dalam) dan es, umumnya berkomposisi basal.

Aliran lava bongkah dicirikan antara lain oleh:
  • Berbentuk materi aliran, memanjang atau mirip kipas, tergantung bentuk bentang alam awal yang dilaluinya. Bentuk memanjang sempit biasanya terjadi bila lava mengalir di lembah sungai, sedang bentuk kipas bila melalui bentang alam relatif datar. Dari bentuk geometri ini sering juga nampak struktur aliran. 
  • Efek kontak hanya terjadi pada batuan yang ditindihnya, sanggup berupa imbas bakar atau oksidasi. 
  • Tekstur permukaan sangat kasar, berbongkah-bongkah dengan diameter mencapai 3 – 5 m, ke bawah membreksi sedang di penggalan tengah badan lava berupa batuan beku masif. Mendekati dasar aliran batuan beku ini kembali membreksi dan berbongkah namun ukurannya lebih kecil dari yang ada di permukaan. 
  • Bagian atas membentuk struktur berlubang, semakin encer dan basa bentuk lubang ibarat elip yang mempunyai kegunaan untuk memperlihatkan arah aliran. Apabila aliran lava cukup tebal, di penggalan tengah sanggup terbentuk kekar kolom, sedang di penggalan bawah membentuk kekar lembar. Pada batuan gunungapi renta dimana penggalan permukaan aliran lava sudah mengalami erosi, maka identifikasi imbas kontak, tekstur dan struktur di penggalan bawah menjadi sangat penting. 

Aliran lava bantal dicirikan antara lain oleh:
  • Bentuk memanjang agak membulat, mirip bantal guling atau sosis, sekaligus memperlihatkan struktur aliran. 
  • Di penggalan permukaan badan aliran terdapat kulit beling (glassy skin), sedang ke arah tengah semakin banyak kristal, atau paling tidak bertekstur afanit. 
  • Struktur rekahan dan aliran (ropy wrinkle) terdapat dipermukaan, sedang dari penampang terlihat struktur konsentris dan rekahan radier. 
  • Batuan umumnya berkomposisi basal, mungkin berasosiasi dengan hyaloclastites. 

Batuan Klastika Gunungapi Secara Genesa

Berdasarkan asal-usul proses fragmentasinya, genesa batuan klastika gunungapi dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu: batuan beku autoklastika, batuan piroklastika, batuan kataklastika dan batuan epiklastika.

Batuan beku autoklastika (breksi autoklastika, autoclastic breccias), yaitu lava koheren yang lantaran pendinginan sangat cepat dan bersentuhan dengan batuan dasar atau batuan samping yang hirau taacuh terjadi fragmentasi secara otomatis di penggalan tepi atau luar dari badan magma/lava tersebut, baik sebagai intrusi dangkal maupun batuan beku luar. Berhubung yang sering dijumpai ialah fragmentasi berukuran berangasan dan berbentuk meruncing maka batuannya disebut breksi autoklastika. Ciri-ciri batuan ini bertekstur klastika tetapi komposisi fragmen dan matriks relatif homogen, berupa batuan beku berasal dari magma yang sama.

Batuan piroklastika, yaitu batuan gunungapi bertekstur klastika sebagai hasil letusan gunungapi dan pribadi dari magma pijar. Sebanding dengan batuan piroklastika ialah batuan hidroklastika, yakni batuan gunungapi bertekstur klastika sebagai hasil letusan uap air (letusan freatik, hidrotermal) yang membongkar batuan renta di atasnya. Uap air berasal dari air bawah tanah bercampur dengan air magma yang terpancarkan, namun dalam hal-hal tertentu uap air itu berasal dari air permukaan (air hujan, sungai, danau, es atau air laut). Dalam hal ini materi padat atau cair dari magma tidak ikut terlontarkan. Letusan transisi diantara letusan magmatik dengan letusan freatik ialah letusan freatomagmatik.

Berdasarkan proses pembentukannya batuan piroklastika maupun hidroklastika sanggup dibagi menjadi materi jatuhan (pyroclastic falls), aliran (pyroclastic flows) dan seruakan piroklastika (pyroclastic surges). Pada dikala ini dikenal pyroclastic density current yang merupakan gabungan antara pyroclastic flows dan pyroclastic surges. Deskripsi ciri-ciri batuan piroklastika ini sanggup dilihat pada Tabel 6, 7 dan 8. Batuan jatuhan piroklastika (kadang-kadang disebut batuan piroklastika jatuhan) ialah batuan piroklastika yang jatuh atau mengendap menurut gaya beratnya sendiri atau secara gravitasi. Padanan katanya antara lain tefra, pyroclastic ashfall deposits atau pyroclastic fallout deposits (untuk materi berbutir abu), dan pyroclastic free fall deposits. Cas & Wright (1987) mendefinisikan aliran piroklastika sebagai ‘a hot, variably fluidised, gas-rich particle concentration mass-flow of pyroclastic debris’ (aliran materi piroklas yang panas, banyak mengandung gas dan sebagian mengalami pelelehan). Di Indonesia aliran piroklastika ini lebih dikenal dengan sebutan awan panas. Sebagai padanan katanya banyak sekali, contohnya block and ash flow deposits, ashflow deposits, glowing avalanche deposits, pumice flow deposits, nuee ardante dan ignimbrites. Berhubung temperatur aliran piroklastika ini sangat tinggi (500 – 700 oC) ada penggalan yang mengalami pelelehan kembali yang sesudah membatu kenampakannya mirip terlaskan, sangat keras dan batuannya sering disebut welded ignimbrite atau welded tuff. Seruakan piroklastika ialah piroklas yang prosedur transportasinya secara dihembuskan, disemburkan atau menyeruak secara lateral. Cas & Wright (1987) menyebutnya sebagai a surge transports pyroclast along the surface as expanded turbulence, low particle concentration gas solid dispersion (suatu seruakan yang mengangkut piroklas sepanjang permukaan sebagai kelanjutan dari sistem turbulen, mengandung partikel rendah dan merupakan dispersi gas dengan materi padat).

Tabel 6. Ciri-ciri endapan jatuhan piroklastika. Karakter ini sangat tergantung pada besarnya letusan, perubahan “style” dari letusan pada suatu erupsi, dan jarak dari sumber. Daftar kenampakan di bawah ini umumnya sanggup digunakan sekalipun ada yang muncul hanya pada tipe erupsi tertentu.

Tabel 7.  Ciri-ciri endapan aliran piroklastika. Karakter ini sangat tergantung pada besarnya letusan, perubahan prosedur (style) dari letusan pada suatu erupsi, dan jarak dari sumber. Daftar kenampakan di bawah ini umumnya sanggup digunakan sekalipun ada yang muncul hanya pada tipe erupsi tertentu. Disarikan dari Fischer & Schmincke (1984), Cas & Wright (1987).

Tabel 8.  Ciri-ciri endapan seruakan piroklastika. Karakter ini sangat tergantung pada besarnya letusan, perubahan prosedur (style) dari letusan pada suatu erupsi, dan jarak dari sumber. Daftar kenampakan di bawah ini umumnya sanggup digunakan sekalipun ada yang muncul hanya pada tipe erupsi tertentu. Disarikan dari Fischer & Schmincke (1984), Cas & Wright (1987) dan pengalaman penulis.

Batuan kataklastika, yaitu batuan gunungapi bertekstur klastika sebagai tanggapan terkena proses deformasi lantaran tersesarkan atau terlongsorkan (dalam jumlah yang sangat besar disebut mega landslides atau gigantic landslides). Guguran kubah lava yang tidak membentuk aliran piroklastika sanggup juga dikelompokkan sebagai batuan kataklastika sekalipun sekalanya lebih kecil. Batuan kataklastika sebagai tanggapan sesar sering disebut breksi sesar (untuk fraksi kasar) atau milonit (untuk fraksi halus/lempung). Longsoran besar Mount St. Helens pada Mei 1980 di USA sangat populer dan menjadi tipe khas pembentukan endapan longsoran gunungapi (volcanic debris avalanches atau rock slide avalanches, Voight dkk., 1981). Endapan semacam itu di Indonesia sangat banyak, antara lain di G. Gede, G. Galunggung, G. Guntur dan G. Cireme.

Secara bentang alam, kenampakan sangat khas adanya endapan longsoran gunungapi berupa kaldera berbentuk tapal kuda terbuka ke suatu arah dan di depannya terhampar bukit-bukit endapan klastika gunungapi yang dikenal dengan sebutan hummocky topography. Bentuk bukit umumnya berupa kerucut tetapi ada yang bulat telur dengan sumbu terpanjangnya berpola radier menjauhi sumber longsoran dan sejajar arah aliran. Bukit-bukit berukuran besar terkonsentrasi di sepanjang sumbu sebaran endapan; ukurannya mengecil menuju tepi sebaran dan menjauhi sumber longsoran. Di antara perbukitan endapan longsoran gunungapi terdapat pola aliran yang tidak saling berhubungan, dan sering dijumpai cekungan soliter atau danau terisolir. Dalam beberapa hal sumber longsoran yang semula berupa kaldera berbentuk tapal kuda tidak nampak lagi lantaran tertutup oleh kerucut endapan gunungapi yang lebih muda.

Singkapan endapan longsoran gunungapi berupa batuan beku berbentuk aliran lava, kubah, retas atau sill bercampur dengan materi piroklastika. Bahan tersebut umumnya telah hancur, pecah-pecah, terlipat dan tersesarkan sehingga sulit untuk dipisahkan secara litostratigrafi. Endapan longsoran itu dari satu bukit ke bukit yang lain di dekatnya tidak sanggup dikorelasikan dengan serta merta. Endapan longsoran gunungapi yang terbentuk lantaran letusan gunungapi sering berasosiasi dengan endapan awan panas, baik jenis aliran maupun seruakan piroklastika.

Endapan longsoran gunungapi sanggup berupa bongkah (debris avalanche block) dan matriks atau masa dasar (debris avalanche matrix; Ui, 1983; Glicken, 1986). Bongkah endapan longsoran gunungapi ialah fragmen berasal dari badan gunungapi yang longsor dengan ukuran sangat bervariasi dari < 1 m - 280 m (Ui & Glicken, 1986). Kenampakan matriks endapan longsoran gunungapi ialah berupa percampuran fragmen-fragmen yang berasal dari banyak sekali penggalan dari badan gunungapi. Endapan ini tidak terpilah dan tidak bestruktur, berukuran lempung hingga bongkah. Sebuah bukit sanggup tersusun oleh satu atau beberapa bongkah endapan longsoran gunungapi. Sebaran bongkah endapan longsoran gunungapi terkonsentrasi di penggalan tengah, sedang ke tepi dan distal bermetamorfosis matriks endapan longsoran gunungapi. Satu bongkah endapan longsoran gunungapi sanggup tersusun oleh satu jenis batuan (lava/batuan beku atau piroklastika) tetapi juga sanggup tersusun oleh stratifikasi aliran lava dan endapan piroklastika. Hal kedua itu memperlihatkan perlapisan orisinil (intact strata) dari badan gunungapi strato pada mulanya. Batuan pejal dan keras di dalam endapan longsoran mengalami retak-retak atau perekahan dengan intensitas yang berbeda-beda atau bahkan mengalami pergeseran membentuk sesar geser, sesar naik dan sesar turun dalam sekala kecil. Struktur ini terjadi pada dikala melongsor, tetapi untuk sesar normal sanggup pula terbentuk pada dikala sedang berhenti untuk menuju ke posisi yang mapan. Kekar dan sesar pada matriks sering tidak menerus mengenai fragmen atau membelok di samping fragmen. Kekar dan rekahan sering masih berpasang-pasangan membentuk rekahan gergaji (jigsaw cracks or jigsaw fits) atau rekahan mosaik. Bentuk fragmen hampir selalu meruncing. Orientasi paleomagnet untuk masing-masing fragmen di dalam satu bongkah endapan longsoran gunungapi hampir seragam, tetapi deklinasinya berbeda-beda (Mimura, 1985 vide Ui, 1995). Hal ini memperlihatkan material longsoran terpecah-pecah dalam gerakan paralel dengan permukaan tanah namun mengalami tumbukan satu sama lain pada dikala transportasi. Bahan plastis, mirip perlapisan tuf, biasanya lebih terlipat dan tersesarkan daripada mengalami pengkekaran dan perekahan mirip pada batuan keras dan pejal. Sedimen klastika dan lapisan tanah permukaan sanggup terperangkap di dalam batuan yang lebih keras pada dikala aliran membentuk retas sedimen (sediment dikes). Kedudukan jurus dan kemiringan perlapisan batuan di dalam bongkah maupun matriks endapan longsoran gunungapi tidak memperlihatkan keteraturan dan tidak selalu sanggup dikorelasikan.

Penulis (Bronto dkk., 1998) telah melaporkan adanya batuan longsoran gunungapi di Pegunungan Selatan, Kabupaten Gunungkidul, dan beberapa gunungapi aktif masa sekarang di Indonesia (Bronto, 2001b), antara lain di daerah G. Gede, G. Guntur, G. Galunggung dan G. Cereme di Jawa Barat, G. Sundoro dan G. Merapi di Jawa Tengah dan G. Raung di Jawa Timur.

Batuan epiklastika, ialah batuan gunungapi bertekstur klastika sebagai hasil pengerjaan kembali endapan/batuan gunungapi yang sudah ada sebelumnya. Proses pengerjaan itu sanggup mulai dari pelapukan, erosi, transportasi dan redeposisi, atau mulai dari erosi dan transportasi bila endapannya masih lepas-lepas. Pada hakekatnya batuan gunungapi epiklastika yang terbentuk mulai dari proses pelapukan sudah termasuk batuan sedimen silisiklastika. Sedangkan pengerjaan kembali yang tidak melalui proses pelapukan terlebih dahulu biasanya terjadi pada dikala atau segera sesudah letusan gunungapi berlangsung. Endapan piroklastika di lereng gunungapi lantaran masih lepas-lepas, maka pada dikala hujan endapan tersebut pribadi tererosi, terangkut dan mengendap kembali, contohnya endapan lahar.
Berdasar tekstur, struktur, komposisi dan asosiasinya endapan lahar mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.
  1. Umumnya berbutir sedang (pasir) hingga berangasan (kerakal-bongkah). 
  2. Bentuk butir berangasan meruncing tanggung – membulat tanggung. 
  3. Dari daerah proksi (dekat sumber bahan) menuju daerah distal (jauh dari sumber) butiran berangasan menghalus dan bentuknya cenderung menumpul/membulat. 
  4. Sumbu terpanjang bongkah sejajar dengan arah aliran. 
  5. Pemilahan buruk, kemas terbuka, bongkah mengambang di dalam matriks. 
  6. Endapan masif/tidak membentuk struktur sedimen, kecuali kepekatannya sudah menurun sehingga membentuk hyperconcentrated flow dan aliran sungai normal. 
  7. Endapan lahar sanggup tersusun oleh monolitologi atau heterolitologi bila tercampur dengan batuan renta dari dasar/tebing sungai-sungai yang dilaluinya. 
  8. Endapan lahar sanggup mengandung kayu atau arang. 
  9. Endapan lahar biasanya berselang-seling dengan endapan aliran piroklastika dan aliran lava di daerah proksi, sedang di daerah distal berselang-seling dengan endapan sungai biasa (fluvial deposits). 
  10. Endapan lahar berasosiasi dengan gunungapi komposit, gunungapi jamak dan kaldera letusan. 
  11. Dibanding dengan endapan aliran piroklastika, endapan lahar lebih padu, basah, berlumpur dan tekstur permukaan bom/blok gunungapi di dalamnya sudah menghalus, terabrasi atau menumpul.

Penamaan Tuf Secara Deskripsi dan Genesa

Secara deskripsi, Tuf ialah batuan gunungapi bertekstur klastika, berukuran butir ? pasir, tersusun oleh gelas, kristal (dari mineral pembentuk batuan beku) dan atau fragmen batuan (beku luar: basal, andesit basal, andesit, dasit atau riolit) dalam banyak sekali proporsi.
a. Berdasar ukuran butir:
  1. Tuf kasar, berukuran butir pasir (batupasir tuf) 
  2. Tuf halus, berukuran butir lanau-lempung (batulanau tuf, batulempung tuf) 
  3. dapat juga disebut batupasir gunungapi, batulanau gunungapi atau batulempung gunungapi, sesuai dengan ukuran butir penyusun yang dominan 

b. Berdasar komposisi butiran:
  1. Tuf gelas (vitric tuffs) 
  2. Tuf kristal (crystall tuffs) 
  3. Tuf kerikil (lithic tuffs) 
  4. Tuf gelas kristal (crystall vitric tuffs) 
  5. Tuf kristal kerikil (lithic crystall tuffs), dll. 

c. Berdasar komposisi (kimia) batuan beku:
  1. Tuf riolit (rhyolitic tuffs, SiO2 > 68 %) 
  2. Tuf dasit (dacitic tuffs, SiO2: 63-68 %) 
  3. Tuf andesit (andesitic tuffs, SiO2: 57-63 %) 
  4. Tuf andesit basal (basaltic andesite tuffs, SiO2: 53- 57 %) 
  5. Tuf basal (basaltic tuffs, SiO2: 45-53 %) 

d. Berdasar komposisi dominansi pumis/batuapung atau skoria
  1. Tuf batuapung (pumiceous tuffs) 
  2. Tuf skoria (scoriaceous tuffs) 
Secara genesa, Tuf ialah batuan yang tersusun oleh materi hasil kegiatan/letusan gunungapi, baik secara pribadi (primer) maupun tidak pribadi (sekunder/reworked), berbutir halus (?? 2 mm) yang disebut debu atau debu gunungapi (volcanic ash/ dust).

Primer: Tuf piroklastika (hidroklastika, freatomagmatika)
  1. Tuf aliran piroklastika (pyroclastic flow tuffs, ash-flow tuffs) 
  2. Tuf jatuhan piroklastika (pyroclastic free-fall tuffs, ash-fall tuffs) 
  3. Tuf seruakan piroklastika (pyroclastic surge tuffs) 
  4. Tuf terlaskan (welded tuffs), sanggup termasuk tuf aliran piroklastika atau tuf jatuhan piroklastika. 

Sekunder :
  1. Tuf turbidit (klasik) 
  2. Tuf fluviatil, dll. 

Permasalahan:
Sandy tuffs, mempunyai pengertian:
1. Tuf pasir
Tuf tersusun oleh debu gunungapi berukuran butir pasir (= tuf berangasan atau batupasir tuf)

2. Tuf pasiran (?)
Tuf (berkomposisi debu gunungapi) dengan materi penyusun tambahan berukuran butir pasir
materi penyusun tambahan itu hanya disebutkan ukuran butirnya tetapi tidak terperinci komposisinya
rancu dengan tuf sebagai materi penyusun utama yang berukuran butir pasir
bila ini dipandang secara genetik sebagai pengendapan debu gunungapi yang tercampur dengan materi non gunungapi atau minimal non piroklastika maka hal itu harus jelas/rinci pemeriannya

Tuffaceous sandstones, mempunyai pengertian:
1. Batupasir tuf
batuan gunungapi bertekstur klastika, berukuran butir pasir, tersusun oleh tuf atau debu gunungapi
sama dengan batupasir gunungapi (volcanic sandstones)

2. Batupasir tufan (?)
batupasir dengan materi penyusun utama batuan sedimen berbutir pasir dan materi tambahannya ialah tuf (sedikit mengandung tuf).
komposisi materi penyusun utamanya tidak terperinci
rancu dengan materi tambahan berupa tuf berangasan
bila secara genetik ialah pengendapan materi non gunungapi atau minimal non piroklastika yang tercampur dengan debu gunungapi, maka harus ditunjukkan secara rinci masing-masing komponen tersebut.

Dalam penamaan sandy tuffs atau tuffaceous sandstones para jago geologi/ sedimentologi kadang kala hanya mempertimbangkan banyak atau sedikitnya materi gelas gunungapi, pada hal secara petrologi tuf sanggup saja secara mayoritas tersusun oleh gelas gunungapi (vitric tuffs), tetapi juga sanggup oleh kristal (crystal tuffs) atau fragmen batuan (lithic tuffs).

Penamaan Breksi Gunungapi Secara Deskripsi dan Genesa

Secara deskripsi, breksi gunungapi ialah batuan gunungapi bertekstur klastika tersusun oleh kepingan berbentuk meruncing, berbutir berangasan (? > 2 mm), biasanya tertanam di dalam matriks atau masadasar berbutir halus (?? 2 mm). Kepingan atau fragmen tersebut pada umumnya didominasi oleh batuan gunungapi, kristal pembentuk batuan beku dan atau gelas gunungapi. Bentuk kepingan sanggup bervariasi mulai dari sangat meruncing, meruncing hingga dengan agak meruncing atau meruncing tanggung.

Berdasarkan komposisi utama kepingan di dalamnya, breksi gunungapi sanggup dijabarkan menjadi beberapa nama. Sebagai contoh:
  • Breksi andesit, kepingan penyusun utama berupa batuan beku andsesit 
  • Breksi batuapung, kepingan penyusun utama berupa batuapung 
  • Breksi skoria, kepingan penyusun utama berupa skoria 
  • Breksi obsidian, kepingan penyusun utama berupa obsidian 
  • Breksi hialoklastit, kepingan penyusun utama berupa hialoklastit (secara deskriptif sama dengan breksi obsidian) 

Khusus penamaan breksi tuf, para jago ada yang beropini bahwa kepingan utama tersusun oleh tuf, tetapi ada juga yang menyatakan sebagai nama untuk batuan gunungapi bertekstur klastika dimana persentase materi tuf, baik sebagai fragmen maupun sebagai matriks sama atau lebih besar daripada fragmen yang lain.

Kebingungan sering juga dialami untuk penamaan tuf lapili, lapili tuf dan batulapili (lapillistones). Pada literatur usang (misal Pettijohn, 1975), istilah debu gunungapi (?? 2 mm) yang bila sudah membatu menjadi tuf, dan lapili (?: 2 -64 mm) bila sudah membatu menjadi batulapili diperuntukkan khusus bagi batuan piroklastika. Artinya batuan itu secara primer harus pribadi dihasilkan oleh letusan gunungapi. Sebagai materi yang masih berupa endapan, atau masih lepas-lepas, belum membentuk batuan, dan dihasilkan oleh kegiatan gunungapi Kuarter atau bahkan letusan gunungapi masa sekarang dimana gunungapinya juga masih secara mudah/jelas sanggup ditunjukkan maka untuk menyatakan sebagai bahan/endapan piroklastika tidak disangsikan lagi. Akan tetapi hasil kegiatan gunungapi Tersier atau yang lebih renta yang bahannya sudah membatu dan badan gunungapinya sudah tidak terlihat secara nyata, maka untuk menyatakan secara tegas bahwa tuf itu secara primer ialah hasil pribadi letusan gunungapi yang mengendap dan membatu secara insitu, masih diharapkan banyak pertimbangan sebagai pendukungnya. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut dan untuk kepraktisan kerja terutama di lapangan maka disarankan penamaan tuf, tuf lapili, lapili tuf dan batulapili didasarkan pada pemerian saja. Namun apabila data pemerian tersebut mendukung bahwa batuan gunungapi itu ialah materi primer piroklastika maka penamaannya sanggup ditingkatkan secara genesa atau kombinasi antara deskripsi dan genesa.

Dengan demikian tuf lapili ialah batuan klastika gunungapi yang materi penyusun utamanya ialah debu gunungapi (?? 2 mm) dan materi penyusun tambahannya ialah lapili gunungapi (?: 2 -64 mm). Sebaliknya, lapili tuf ialah apabila komponen berukuran lapili lebih banyak daripada debu gunungapi, sedangkan batulapili bila materi penyusun sangat didominasi oleh butiran lapili. Dalam banyak hal di lapangan batulapili sama dengan breksi gunungapi dimana fragmennya berukuran butir halus (2-64 mm).

Untuk istilah konglomerat gunungapi (volcanic conglomerates) identifikasinya lebih gampang lantaran nama itu sanggup diberikan kepada batuan klastika gunungapi dimana fragmennya sudah berbentuk membulat lantaran proses abrasi, transportasi atau proses-proses pengerjaan kembali lainnya. Dengan demikian konglomerat gunungapi secara terperinci sudah merefleksikan sebagai materi rombakan atau batuan epiklastika gunungapi atau secara sensu stricto sebagai batuan sedimen bertekstur klastika yang bahannya berasal dari kegiatan gunungapi. Sekalipun demikian diharapkan kehati-hatian untuk membedakannya dengan istilah aglomerat (aglomerates), yaitu batuan gunungapi yang secara mayoritas tersusun oleh bom gunungapi dan secara proses merupakan materi lontaran dari lubang kawah sewaktu terjadi letusan gunungapi. Sekalipun bentuk umumnya membulat, bom gunungapi mempunyai tekstur permukaan sangat kasar, membentuk struktur pendinginan mirip rekahan radier dan atau konsentris serta tersusun secara mayoritas oleh gelas gunungapi, sebagai tanggapan pendinginan sangat cepat sewaktu dilontarkan dari lubang kepundan ke udara atau ke dalam air.

Secara genesa, breksi gunungapi ialah batuan gunungapi yang merupakan hasil fragmentasi oleh suatu alasannya ialah sehingga menjadi kepingan-kepingan berbentuk meruncing dan berbutir berangasan (? ? 2 mm). Bentuk kepingan bervariasi dari sangat meruncing hingga dengan agak meruncing atau meruncing tanggung. Ukuran butir kepingan juga bermacam-macam , mulai dari sekitar 3 mm hingga dengan 3 – 5 m, atau bahkan lebih. Berdasarkan proses fragmentasinya, breksi gunungapi dibagi menjadi empat kelompok, yakni:
  • Breksi piroklastika (hidroklastika), ialah breksi yang fragmentasinya sebagai tanggapan letusan gunungapi, baik yang bersifat magmatik, freatik maupun freatomagmatik. 
  • Breksi autoklastika, ialah breksi yang fragmentasinya sebagai tanggapan pembekuan magma atau lava yang sangat cepat. 
  • Breksi kataklastika, ialah breksi yang fragmentasinya sebagai tanggapan deformasi. Proses deformasi sanggup berupa longsoran tubuh/ batuan gunungapi atau batuan gunungapi yang tersesarkan. Breksi jenis kedua itu sering disebut breksi sesar. 
  • Breksi epiklastika, ialah breksi yang fragmentasinya sebagai tanggapan proses pengerjaan kembali (oleh tenaga eksogen). 

Pembagian tersebut masih dalam kelompok breksi gunungapi yang tidak bekerjasama dengan proses hidrotermal dan banyak terjadi di daerah gunungapi, alterasi hidrotermal dan mineralisasi (primary non-hydrothermal breccias; Corbett & Leach, 1995, p. 34). Sedangkan breksi (gunungapi) yang bekerjasama dengan hidrotermal dan cebakan bijih (ore-related hydrothermal breccias) dibagi menjadi (1) Breksi hidrotermal magmatik (magmatic hydrothermal breccias), (2) Breksi freatomagmatik (phreatomagmatic breccias), dan (3) Breksi freatik (phreatic breccias). Breksi hidrotermal magmatik dicirikan oleh masuknya materi magma ke dalam proses breksiasi dan cairan bijih hidrotermal didominasi oleh komponen magmatik. Breksi freatik disini sebanding dengan breksi hidroklastika, yaitu fragmentasinya sebagai tanggapan letusan uap air panas (letusan hidroklastika atau letusan freatik). Sedangkan breksi freatomagmatik terbentuk sebagai tanggapan letusan freatomagmatik. Berhubung pembagian breksi ini lebih digunakan dalam eksplorasi mineral bijih, untuk lebih rincinya pembaca disarankan biar membaca banyak buku, antara lain yang ditulis oleh Corbett & Leach (1995).

Referensi :
Bronto, S., 2001a, Volkanologi, Bahan ajar, Proyek Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Direkt. Pembinaan dan Pengabdian pada Masyarakat, Ditjend. Dikti, Depdiknas, Jakarta, tidak terbit.
Bronto, S., 2001b, Volcanic debris avalanches in Indonesia, Proceed. The 3rd Asian Sympos. On Engin. Geol. And the environ. (ASEGE), Yogyakarta, Sept. 3-6, 449-462.
Cas, R.A.F. and J.V. Wright, 1987, Volcanic successions, Modern and Ancient, Allen & Unwin, London, 528.
Cox, K.G., J.D. Bell & R.J. Pankhurst, 1978, The interpretation of Igneous Rocks, George Allen & Unwin, London, 450 p.
Ewart, A., 1982, The mineralogy and petrology of Tertiary – Recent orogenic volcanic rocks : with special reference to the andesite – basaltic compositional range, in R.S. Thorpe (ed.), Andesite : Orogenic Andesites and Related Rocks, John Wiley Sons Ltd., New York, ppp. 25 – 95.
Fisher, R.V., 1961, Proposed classification of volcaniclastic sediments and rocks, Geol. Soc. Amer. Bull., 72, 1409-1414.
Fisher, R.V., 1966, Rocks composed of volcanic fragments, Earth Sci. Rev., 1, 287-298.
Fisher, R.V. and H.U. Schmincke, 1984, Pyroclastic Rocks, Springer-Verlag, Berlin, 472.
Fisher, R. V. & G.A. Smith, (Eds.), 1991, Sedimentation in Volcanic Settings, SEPM (Society for Sedimentary Geology), Spec. Pub. No. 45, Tulsa, Oklahoma, USA, 257.
Glicken, H., 1986, Rockslide-debris avalanche of May 18, 1980, Mount St. Helens Volcano, Washington, PhD thesis, Univ. of California, Santa Barbara, 303.
Macdonald, G. A., 1972, Volcanoes, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, 510.
Mathisen, M.E. & McPherson, J.G., 1991, Volcaniclastic deposits: Implications for hydrocarbon exploration, in: R.V. Fisher & G.A. Smith (Eds.): Sedimentation in volcanic setting, SEPM (Society for Sedimentary Geology), Spec. Pub. No. 15, Tulsa, Oklahoma, USA, 27-36.
McPhie, J., M. Doyle & R. Allen, 1993, Volcanic Textures. A guide to the interpretation of textures in volcanic rocks, Centre for Ore Deposit and Exploration Studies, Univ. Tasmania, 196.
Peccerillo, A. & S.R. Taylor, 1976, Geochemistry of Eocene calc alkaline volcanic rocks from the Kastamonu area, northern Turkey, Contr, Min. Petr., 58, 63-81.
Pettijohn, F.J., 1975, Sedimentary Rocks, 3rd ed., Harper & Row Pub., New York, 628.
Siebett, B.S., 1988, Size, depth and related structures of intrusions under stratovolcanoes and associated panas bumi systems, Earth Sci. Rev., 25, 291-390.
Streckeisen, A.L., 1980, Classification and nomenclature of volcanic rocks, lamphrophyres, carbonatites and melilitic rocks, IUGS Subcommission on the systematics of Igneous Rocks, Geol. Rundch., 69, 194-207.
Ui, T., 1983, Volcanic dry avalanche deposits – Identification and comparison with non-volcanic debris stream deposits, J. Volcanol. Geotherm. Res., 22, 163-197.
Ui, T., 1995, Characterization of debris avalanches associated with volcanic activity, paper presented at the Workshop on Debris Avalanche and Debris Flow of Volcano, Science & Technology Agency, National Research Institute for Earth Scientific and Disaster Prevention, 7-11 March, Tsukuba Center Inc., Tsukuba, Japan, pp. 15-20.
Ui, T. & H. Glicken, 1986, Internal structural variations in a debris-avalanche deposit from ancestral Mount Shasta, California, USA, Bull. Volcanol., 48, 189-194.
Ui, T., H. Yammoto & K. Suzuki-Tamata, 1986, Characterization of debris avalanche deposits in Japan, J. Volcanol. Geotherm. Res., 29,231-243.
Voight, B., H. Glicken, R.J. Janda & P.M. Douglass, 1981, Catastrophic rockslide avalanche of May 18, in P.W. Lipman & D.R. Mullineaux (Eds.), The eruption of Mount St. Helens, Washington, U.S. Geol. Surv. Pap., 98, 347-377.
Walker, R.G. & N.P. James, 1992, Facies models. Response to sea level change, Geol. Assoc. Canada.
Williams, H., 1941, Calderas and their origin, Univ. California, Berkely Publ. Geol. Sci., 25, 239-346.
Williams, H. and A.R. McBirney, 1979, Volcanology, Freeman, Cooper & Co., San Francisco, 398.
Williams, H., F.J. Turner & C.M. Gilbert, 1953, Petrography. An Introduction to the Study of Rocks in Thin Sections, W.H. Freeman and Co., San Francisco, 405 p.

Posting Komentar untuk "Deskripsi Dan Penamaan Batuan Gunungapi"